Mengqada Salat dalam Pandangan Fiqih Empat Mazhab
(Foto: Ist)
Salat fardu atau salat lima waktu, wajib dilaksanakan tetap pada waktunya, berdasarkan firman Allah Swt,
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا ﴿النّساء [٤]:١٠٣﴾
Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa [4]:103)
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi jika diakhirkannya itu karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban salat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
Hal-hal yang menggugurkan salat
Ada sejumlah halangan atau uzur yang dapat menggugurkan salat dari seseorang, yaitu:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَعْقِلَ
"Pena diangkat (tidak terkena dosa) dari tiga hal, orang yang tidur hingga ia bangun, dari orang gila hingga hilang (penyakit gilanya), dan seorang anak kecil hingga ia berakal." (Musnad Ahmad 23962)
Hadis ini telah dikemukakan di atas dalam Bab Syarat-syarat Kewajiban Salat. Ulama Hanafi mensyaratkan, gila dan halangan-halangan yang lain hendaklah berlangsung terus-menerus selama lebih dari lima waktu salat. Jika tidak, maka semua yang tertinggal yang kurang dari lima waktu itu wajib di qada. Sementara itu ulama Maliki dan Hanbali berpendapat, jika penyakit gila berlangsung dalam dua waktu maka gugurlah kewajiban salat. Sedang ulama Syafi`i hanya mensyaratkan halangan itu berlangsung penuh dalam setiap waktu sejak awal sampai akhir.Hal-hal yang membolehkan mengakhirkan salat
Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan salat dari waktunya dan tidak berdosa karenanya ialah tidur, lupa, dan lalai. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada Rasulullah perihal tidur mereka yang menyebabkan tertundanya salat, maka sabdanya,
إنَّهُ ليسَ في النَّومِ تفريطٌ، إنَّما التَّفريطُ في اليقَظةِ، فإذا نسيَ أحدُكم صلاةً، أو نامَ عنْها، فليُصلِّها إذا ذَكرَها
الراوي: [أبو قتادة الحارث بن ربعي] • الألباني، صحيح الترمذي (١٧٧) • صحيح • أخرجه الترمذي (١٧٧) واللفظ له، وأخرجه مسلم (٦٨١) مطولاً بلفظ مقارب • شرح حديث مشابه
Sesunggunya tidaklah termasuk kelalaian karena tertidur, tetapi kelalaian itu di waktu terjaga. Karena itu jika seseorang di antaramu lupa salat atau tertidur hingga meninggalkan salat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali. (Hadis Nasa'i dan Tirmizi yang mensahkannya).
Diterima dari Anas, Nabi Saw. bersabda,
مَن نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إذا ذَكَرَها، لا كَفّارَةَ لَها إلّا ذلكَ ﴿وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي﴾ [طه: ١٤]. قالَ مُوسى: قالَ هَمّامٌ: سَمِعْتُهُ يقولُ: بَعْدُ: وأَقِمِ الصَّلاةَ للذِّكْرى
الراوي: أنس بن مالك • البخاري، صحيح البخاري (٥٩٧) • [صحيح] • أخرجه البخاري (٥٩٧)، ومسلم (٦٨٤) • شرح الحديث
Barangsiapa yang lupa mengerjakan salat, hendaklah mengerkannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kifarat yang lain". (Hadis Khamsah)
Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, "Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan salat atau lupa mengerjakannya, hendaklah ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah Saw. berfirman, "Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku." (Taha[20]:14).
Dari Abu Qatadah,
سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
Kami pernah berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sekiranya Tuan mau istirahat sebentar bersama kami?" Beliau menjawab: "Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat." Bilal berkata: "Aku akan membangunkan kalian." Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tungganganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya ia pun tertidur. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: "Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!" Bilal menjawab: "Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya." Lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!" Kemudian beliau berwudlu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat. (Shahih Bukhari 560)
Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahan,
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نُعِيدُهَا فِي وَقْتِهَا مِنْ الْغَدِ قَالَ أَيَنْهَاكُمْ رَبُّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ الرِّبَا وَيَقْبَلُهُ مِنْكُمْ
"Wahai Rasulullah, apakah besok kita harus mengulangnya kembali ketika waktunya?" Beliau menjawab: "Apakah Allah Tabaraka wa Ta'ala melarang riba kepada kalian namun menerimanya dari kalian?" (maksudnya tak perlu tambahan shalat lagi). (Musnad Ahmad: 19ز115)
Meng qada salat wajib dilaksanakan dengan segera, baik salat itu tertinggal karena suatu uzur yang tidak menggugurkan kewajiban atau tanpa uzur sama sekali. Dan qada ini tidak boleh ditunda-tunda terkecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk memperoleh rezeki dan menuntut ilmu yang wajib ain, begitu juga makan dan tidur.
Dengan hanya meng qada salat tidak berarti seseorang telah bebas dari dosa (karena menunda salat tanpa uzur), tetapi ia masih harus bertaubat, sebagaimana taubat tidak dapat menggugurkan kewajiban salat namun harus disertai meng qada pula. Hal ini karena salah satu syarat bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa, sedang orang yang bertaubat tanpa meng qada belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan dosa tersebut.
Termasuk salah satu hal yang tidak mengharuskan qada dengan segera ialah sibuk mengerjakan salat sunah. Tetapi bagi orang yang berkewajiban qada, sebaiknya ia tidak mengerjakan salat sunah dulu selain salat sunah Subuh, sunah Magrib, dan Witir. Dan sebagai gantinya dari salat sunah rawatib lainnya hendaklah ia meng qada salat.
Meng qada salat boleh dilakukan setiap saat kecuali pada tiga waktu yang dilarang salat, yakni ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit, dan terbenam. Juga dalam satu waktu pula meng qada beberapa salat yang tertinggal, sebab pengertian qada ialah mengerjakan salat yang telah lewat waktunya.
Barangsiapa tertinggal mengerjakan salat, maka wajib meng qadanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat salat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yang menempuh jarak qasar tertinggal salat yang empat rakaat, maka ia meng qadanya dua rakaat sekalipun dikerjakan di rumah. Tetapi menurut pendapat ulama Syafi`i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini, ia meng qadanya empat rakaat, sebab hukum asal salat ialah itmam (sempurna, empat rakaat). Karena itu, ketika dirumah salat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang mukim (tinggal di rumah, tidak bepergian) tertinggal salat yang empat rakaat, maka ia harus meng qadanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga bila yang tertinggal itu salat sirriah (salat yang bacaannya pelan) yakni dzuhur dan ashar maka meng qada salatnya dengan cara sirr pula sekalipun dikerjakan di malam hari. Juga bila yang tertinggal itu salat jahriah (bacaanya dikeraskan) seperti salat subuh maka meng qadanya pun harus dengan dikeraskan walapun dikerjakan di siang hari. Tetapi menurut ulama Syafi`i, yang menjadi patokan ialah waktu di mana qada dilaksanakan. Jadi seandainya qada itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaanya harus dikeraskan sekalipun yang di qada itu salah sirriahh. Dan sebaliknya, jika di siang hari maka bacaanya harus dipelankan walaupun yang di qadanya salat jahriah.
Dalam meng qada salat yang tertinggal (salat fa'itah) hendaklah diperhatikan tertib urutannya satau dengan yang lain. Qada salat Subuh dikerjakan sebelum qada Zuhur, dan qada Zuhur sebelum salat Asar. Di samping itu hendaklah diperhatikan pula urutan salat fa'itah dengan salah pada waktunya (salat hadirah). Maka apabila salat fa'itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima, salat hadirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum salat fa'itah dikerjakan dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habsinya waktu salat hadirah. Diriwayatkan dari Abdullah bin ,ma`ud,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنْ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَجَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ لَيْسَ بِإِسْنَادِهِ بَأْسٌ إِلَّا أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ الَّذِي اخْتَارَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْفَوَائِتِ أَنْ يُقِيمَ الرَّجُلُ لِكُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَضَاهَا وَإِنْ لَمْ يُقِمْ أَجْزَأَهُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ
"Orang orang Musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari melaksanakan empat waktu shalat, pada hari perang Khandaq sampai malam berlalu dengan kehendak Allah. Kemudian beliau memerintahkan Bilal (untuk mengumandangkan adzan), maka Bilal pun mengumandangkan adzan dan Iqamat. Beliau kemudian melaksanakan shalat zhuhur, kemudian Bilal iqamat lalu beliau shalat asar. Kemudian Bilal iqamat lalu beliau shalat maghrib. Kemudian Bilal iqamat lalu beliau melaksanakan shalat isya." Ia berkata: "Dalam bab ini terdapat hadits dari Abu Sa'id dan Jabir." Abu Isa berkata: "Hadits Abdullah dalam sanadnya tidak ada masalah, akan tetapi Abu Ubaidah tidak mendengar dari Abdullah." Inilah yang dipilih oleh sebagian ulama mengenai shalat yang ketinggalan, bahwa seorang laki-laki hendaklah mengumandangkan iqamah pada setiap shalat jika ia mengqadlanya, dan sekiranya tidak mengumandangkannya maka itu telah cukup. Ini adalah pendapat Syafi`i." (Sunan Tirmidzi: 164, Kitab Shalat, Bab Seseorang belum mengerjakan beberapa shalat, mana didahulukan)
Catatan: Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah salat khauf.
Ulama Hanfi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan salat hadirah teringat akan salat fa'itah yang belum dikerjakannya, batallah salat hadirahnya. Orang itu harus mengerjakan salat fa'itah dulu setelah itu mengulangi lagi salat hadirah. Sedang menurut ulama Maliki, sunah mengulangi lagi salat hadirah setelah mengerjakan fa'itah.
Jika salat fa'itah itu enam waktu atau lebih maka dalam menegrjakannya tidak harus secara tertib, boleh dikerjakan sebelum salat hadirah ataupun sesudahnya.
Barangsiapa tertinggal sejumlah salat tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya maka ia harus mengerjakan qada sampai merasa yakin kewajibannya telah terpenuhi. ***
Penulis/Pewarta: Muhamad Basuki
Editor: Abu Halima
©2025 Al-Marji
TAGS:
Berita Terkait
Baca Juga
- Terjemahan Riyadhus Shalihin: Bab 15. Memelihara Kelangsungan Amalan-amalan
- Terjemah Fathul Qarib - Beberapa Mandi yang Disunatkan
- Kumpulan Hadis Tentang Zuhud
- Kumpulan Ayat Al-Quran yang Menyebutkan Setan Adalah Musuh Nyata Manusia
- Zuhud itu Me-rileks-kan Jiwa dan Raga
- Download e-Book (pdf) Terjemah Kitab al-Muhalla Karya Ibnu Hazm
- Download Terjemah Kitab al-Mughni (pdf) Karya Ibnu Qudamah
- Terjemah Syarah Kitab Tijan Darori - Sifat Tabligh bagi Rasul dan Lawannya
- Download Terjemah Kitab 'Aunul Ma'bud 'Ala Syarhi Sunan Abi Daud karya Syeikh Syariful Haqq
- Terjemah Fathul Qarib - Fardlu Tayammum